Pelaku Data Center Tolak Revisi PP 82/2012

Pasang Iklan Disini

[ad_1]

Jakarta,Wikimedan – Pelaku industri data center tetap berharap Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012 tentang perlindungan data pribadi tidak ada perubahan untuk menjamin keberlangsungan investasi pemain ‎data center lokal.

Khususnya pasal 17 yang menyebutkan tentang penempatan data center harus ada di indonesia.

Menurut Teddy Sukardi,Sekjen Asosiasi Data Center di Indonesia (IDPRO), pasal itu tidak perlu dirubah atau diotak-atik. Pasalnya, keberadaan data center sangat dibutuhkan oleh banyak pihak khsusunya para pelaku bisnis di Indonesia untuk menunjang operasional dan keberhasilan bisnis dan produk mereka.

Para anggota IDPRO sendiri memiliki konsumen dari beragam industri seperti fintech, startup dan lain-lain.

Dikatakan Teddy, pelaku industri ini memaksimalkan penggunaan data center di indonesia demi ikut berkontribusi para pertumbuhan ekonomi inklusif di Indonesia.

“Pertimbangannya diharapkan betul-betul lebih matang. Jangan sampai nanti menimbulkan celah-celah yang akhirnya berdampak kepada momentumnya hilang pelaku usaha di Indonesia, sehingga momentum melindungi data prbadi juga hilang,”ujar Teddy di Jakarta (18/10/18).

Dikatakan Teddy adanya data center tidak semata hanya menjadi.pendukung bagi industri untuk berkembang, namun menjadi landasan kuat bagi mereka untuk bertahan ditengah persaingan perekonomian global yang kuat.

Mengenai penolakan para pelaku data center di Indonesia Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012, khususnya pasa 17 berbanding terbalik dengan Menkominfo.

Pasalnya baru-baru ini Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika menjelaskan, bahwa revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik mengatur tentang mana saja pusat data atau data center yang harus di Indonesia dan tidak.

Ia mengatakan, sebelumnya Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 mengharuskan pusat data berada di Indonesia atau data center localization.

Menurutnya revisi PP 82 saat ini sedang jalan dan mengacu kepada UU ITE. Selain itu Rudiantara mengaku bahwa revisi ini tidak ada kaitannya dengan Amazon Web Services (AWS) atau Alibaba Cloud. Ia mengaku mau merevisi PP ini sejak 2015.

Rudiantara juga melihat bahwa aturan ini merugikan perusahaan rintisan atau startup karena dinilai tidak akan berkembang apabila semua data center mereka wajib di Indonesia.

Dikatakan Rudiantara, mereka semua menggunakan cloud computing untuk menyimpan data. Sehingga Rudiantara melihat di sini ada aturan tapi tidak implementable, sehingga tidak bisa diterapkan penuh. Akhirnya, dilakukan revisi dengan membaginya menjadi tiga kategori.

Tiga kategori yang dimaksud adalah strategis, penting (important), dan biasa. Strategis, menurut Rudiantara, antara lain data intelijen, pertahanan dan keamanan, serta data kependudukan. Menurut Rudiantara kategori itu yang pusat datanya wajib ada di Indonesia.

Sedangkan sektor perbankan pusat datanya boleh ada di Indonesia, boleh juga. Rudiantara juga mengaku sedang membahasnya dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, kategori biasa adalah yang pusat datanya boleh ada di luar Indonesia.

[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *