Ini Beda Istilah Greenflation dan Greedflation

Pasang Iklan Disini

Wikimedan – Ini Beda Istilah Greenflation dan Greedflation. Calon wakil presiden nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka melontarkan istilah ‘greenflation’ dalam Debat Cawapres yang digelar KPU di Jakarta Convention Center, Senayan, akhir pekan lalu (21/1/2024).

Gibran mengunakan istilah ini dalam pertanyaan kepada lawannya, Muhaimin Iskandar, cawapres nomor urut 1. Istilah ini lantas menjadi sorotan publik di media sosial.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menjelaskan greenflation adalah kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi sebagai konsekuensi dari transisi perekonomian menjadi perekonomian yang lebih ramah lingkungan, yaitu perekonomian net-zero.

Namun, dia mengingatkan tidak semua kenaikan harga itu disebabkan adanya greenflation. Misalnya, pada kasus tingkat inflasi tahunan sebesar 5,3% di Uni Eropa pada Desember 2021, greenflation saja belum cukup untuk menjelaskan penyebab dari inflasi tersebut karena terdapat alasan lain di balik kenaikan harga.

“Greenflation tercermin di kenaikan harga beberapa komoditas. Permintaan yang kuat terhadap logam yang diperlukan untuk transisi energi terbarukan serta pasokannya yang tidak mampu memenuhi permintaan tersebut,” kata Telisa dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (23/1/2024).

Pasokan akan yang tidak mampu memenuhi permintaan di Eropa tersebut menjadi rendah akibat investasi yang rendah secara masif di sektor pertambangan, yang sangat terdampak oleh adanya Covid-19. Seperti misalnya di China, memasok hampir 60% alumunium di dunia, akan tetapi memutuskan harus membatasi peleburan baru berkaitan dengan kampanye netralitas karbonnya.

“Selain itu, penurunan produktivitas yang disebabkan oleh pertanian ramah lingkungan dan beretika mengakibatkan harga bahan pertanian menjadi lebih tinggi,” paparnya.

Telisa pun menekankan, greenflation berkaitan erat dengan kenaikan harga energi. Meski bertentangan dengan perkiraan menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2019 yang menyebut biaya energi terbarukan justru kini dapat lebih murah dibandingkan biaya energi fosil, terutama pada pembangkit listrik tenaga angin dan fotovoltaik surya di darat.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho membenarkan pernyataan Gibran bahwa greenflation harus diantisipasi. Namun, dia mengingatkan permasalahan itu baru akan muncul di Indonesia bila transisi energi dari fossil ke energi baru terbarukan (EBT) telah dijalankan secara konsisten.

Dia menegaskan greenflation belum akan terjadi dalam waktu dekat sebelum terealisasimya kebijakan-kebijakan yang mendukung transisi hijau di Tanah Air. Andry pun mencontohkan, salah satunya kebijakan itu ialah pajak karbon yang hingga kini penerapannya belum jelas terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.

“Tapi itu memang akan membuat harga jual listrik kita menjadi mahal, lalu gara-gara harga listrik itu akan mendorong kepada kenaikan harga-harga lain yang mengikuti harga kebutuhan dasar itu, nah itu baru bagian dari greenflation,” tegas Andry.

Dunia ternyata tidak hanya mengenal greenflation. Kini, ada istilah inflasi baru, yakni greedflation.

Pandemi Covid-19 serta perang Rusia – Ukraina memicu masalah inflasi tinggi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Namun, ada hal yang menarik dari inflasi di Negeri Paman Sam saat ini.

Penyebab inflasi tersebut kini bergeser. Inflasi di AS dipicu oleh keserakahan perusahaan dalam menghasilkan laba. Hal ini terjadi khususnya di sektor konsumer seperti diungkapkan oleh Accountable.US sebagaimana dilansir Market Watch.

“Suku bunga tinggi tidak menghentikan perusahaan di S&P 500, khususnya industri makanan, untuk menaikkan harga konsumen meski sudah menghasilkan miliaran dolar AS, pendapatan ekstra” kata Liz Zelnick, direktur di Accountable.US sebagaimana dilansir Market Watch, Rabu (24/1/2024).

Harga makanan mulai mengalami kenaikan saat mulai lepas dari pandemi Covid-19, kemudian semakin naik akibat meroketnya harga energi. Perusahaan konsumer pun menaikkan harga yang harus ditanggung oleh masyarakat AS.

Namun, ketika harga energi belakangan terus menurun, perusahaan konsumer malah terus menaikkan harga produknya.

Inflasi yang terjadi saat ini pun disebut greedflation, inflasi yang timbul akibat keserakahan perusahaan-perusahaan. Warga Amerika Serikat masih mampu membeli barang-barang yang harganya sudah dinaikkan sebab pasar tenaga kerja masih sangat kuat.

Tidak hanya di AS, upaya mengeruk keuntungan telah memainkan peran penting dalam meningkatkan inflasi di Inggris pada tahun 2022-2023.

Analisis terhadap neraca keuangan banyak perusahaan terbesar di Inggris menemukan bahwa aksi ambil untung telah bergerak jauh melebihi kenaikan biaya, sehingga membantu mendorong inflasi Inggris ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak awal tahun 1980an.

Laporan dari lembaga pemikir IPPR dan Common Wealth menemukan bahwa keuntungan bisnis meningkat sebesar 30% di antara perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Inggris, didorong oleh hanya 11% perusahaan yang menghasilkan keuntungan besar berdasarkan kemampuan mereka untuk mendorong kenaikan harga yang luar biasa – yang sering disebut dengan keserakahan.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *