Harga Rumah di RI Kian Mahal, Sri Mulyani Akui Perlu Kebijakan Khusus

Pasang Iklan Disini

Wikimedan – Harga Rumah di RI Kian Mahal, Sri Mulyani Akui Perlu Kebijakan Khusus. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui perlunya kebijakan khusus yang membuat harga rumah di Indonesia itu tidak terus menerus naik hingga semakin sulit terjangkau. Apalagi, jenis rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR juga kini semakin tinggi.

“Memang masih ada kebijakan yang harus diimprove yaitu harga dari rumah itu sendiri dan yang disebut kriteria MBR yang Rp 8 juta mungkin kita perlu, karena harga rumah bisa naik menjadi Rp 300 juta dari sekarang itu sekitar Rp 160-170 juta,” tutur Sri Mulyani.

Sri Mulyani menekankan, dalam membantu keterjangkauan harga rumah sebetulnya APBN telah ikut berkontribusi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), hingga KPR bersubsidi.

Ia mengatakan, setidaknya sudah Rp 228,9 triliun dana dari APBN yang terkucur untuk membantu masyarakat memperoleh rumah melalui skema bantuan kepemilikan rumah itu. Mulai dari 2015 pemerintah mengucurkan dana dari APBN sebesar Rp 13,3 triliun untuk pembangunan rumah susun hingga dana bergulir di FLPP yang senilai Rp 5,1 triliun dan saat ini sudah terus bertambah hingga Rp 105 triliun dan kini menjadi Rp 167 triliun untuk membantu MBR punya rumah.

Lalu, pada 2016 APBN kata dia juga melalui kombinasi bantuan uang muka hingga subsidi suku bunga itu telah terkucur Rp 15,25 triliun dari APBN, pada 2017 menjadi Rp 18 triliun, dan pada 2019 sebesar Rp 18,81 triliun. Pada 2020 dinaikkan menjadi Rp 24,19 triliun, dan pada saat Covid-19 pada 2021 ia mengatakan, dana bantuannya ditambah lagi menjadi Rp 28,95 triliun.

Pada 2022 pun juga telah dinaikkan menjadi Rp 34,15 triliun, pada 2024 menjadi Rp 31,88 triliun, dan pada 2024 sebesar Rp 28,25 triliun. “Jadi total kehadiran APBN untuk bantu sektor perumahan terutama MBR dari 2015 hingga 2024 itu sudah Rp 228,9 triliun,” ucap Sri Mulyani.

“Sangat besar kalaupun mau dibanding 3% yang disampaikan Bu Casytha menurut mereka akan kumpulkan sampai Rp 50 triliun sampai 10 tahun mendatang apabila dilaksanakan, APBN sebetulnya sudah melaksanakan dan dana ini tidak akan hilang,” sambung Sri Mulyani.

Sebelumnya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyajikan data rumah di Indonesia sangat mahal. Ini salah satu penyebabnya sulitnya warga RI mendapatkan rumah.

Hasil riset LPEM FEB UI, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (7/6/2024) harga rumah tertinggi terdapat di Medan dengan rata-rata harga rumah setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan, lalu Surabaya 21,33 kali, Batam 20,94 kali, Makassar 19,78 kali.

Jakarta sendiri ternyata memiliki harga rumah 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali, Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Terendah di Malang 11,91 kali.

“Terdapat indikasi kelebihan penawaran di segmen perumahan bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah ke atas. Banyak developer properti yang lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen ini – dan karenanya berinvestasi lebih sedikit untuk membangun rumah – karena pertimbangan margin profit,” tulis riset LPEM FEB UI.

Laporan tersebut khusus yang ditulis oleh tim peneliti LPEM FEB UI, yakni Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri.

Angka backlog di Indonesia masih sangat tinggi. Hingga 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit rumah, naik dari data pada 2022 sebesar 11,6 juta. Backlog mereka definisikan sebagai krisis kebutuhan kepemilikan rumah.

Tingginya harga rumah yang menyebabkan backlog membengkak, bukan hanya disebabkan pengembang yang enggan banyak membangun rumah terjangkau bagi masyarakat menengah dan bawah, melainkan juga disebabkan harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.

“Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya.”

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *