Ekosistem DNA Indonesia Dalam Cengkraman China

Pasang Iklan Disini

[ad_1]

Jakarta, Wikimedan – Kehadiran 4G yang diperkenalkan operator selular pada akhir 2015, menandakan bahwa Indonesia telah memasuki era internet cepat. Sekaligus membuka gerbang berkembangnya revolusi digital (4.0) yang saat ini tengah marak di berbagai belahan dunia.

Dengan kecepatan akses mencapai lebih 100 Mbps, tiga kali lebih cepat dibandingkan 3G, teknologi 4G memberikan pengalaman yang jauh berbeda kepada pengguna.

Akses internet yang mumpuni itu, pada akhirnya mengubah kebiasaan masyarakat secara drastis. Mengakses media sosial, membalas email, selancar di dunia maya, meng-upload/download foto atau dokumen kerja, bermain game, menonton video online dengan kualitas HD, serta beragam aktifitas lainnya, telah menjadi kebiasaan baru, terutama pada generasi milenial.

Ini adalah lompatan yang luar biasa. Mengingat beberapa tahun lalu, masyarakat masih terbiasa dengan layanan dasar (voice dan SMS). Tak pelak, tumbuhnya kebiasaan-kebiasaan baru yang didukung oleh tren mobile internet tersebut, memicu kesempatan bagi terciptanya ekosistem DNA (device, network dan application), yang menjadi penanda sebagai basis tumbuhnya ekonomi digital di Tanah Air.

Indonesia memang memenuhi syarat sebagai kekuatan ekonomi digital yang bisa memangkas ketertinggalan kita dari negara lain. Berbagai indikator mempertegas hal itu. Jumlah kelas menengah yang terus meningkat, pengguna internet mencapai lebih dari 150 juta, serta besarnya populasi milenial yang melek teknologi, menjadikan peluang tumbuhnya ekonomi digital terbuka lebar.

Menyitir data yang dilansir oleh Kominfo, ekonomi digital Indonesia bisa menembus USD 130 miliar atau Rp 1.924 triliun (USD1 = Rp 14.800) pada 2020 mendatang.

Jumlah tersebut setara dengan 20 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sekaligus menjadikan Indonesia sebagai pasar ekonomi digital terbesar di wilayah Asia Tenggara.

Dengan prospek sebesar itu, tak heran jika vendor atau perusahaan asing semakin bernafsu menjadikan Indonesia sebagai basis pasar bagi pertumbuhan mereka di kawasan Asia Pasifik.

Namun harus diakui, dibandingkan negara-negara lain, China kini menjadi yang terdepan. Faktanya, berkat konsistensi menggarap pasar Indonesia, negeri ras kuning itu semakin mempertegas dominasi di ekosistem DNA. Mari kita telisik satu persatu kekuatan perusahaan/vendor China tersebut.

Device

Dengan rata-rata penyerapan hingga 60 juta unit pertahun, Indonesia adalah surga bagi setiap vendor ponsel. Dukungan tarif data murah dari operator, membuat masyarakat Indonesia semakin keranjingan mengakses internet. Sehingga, pertumbuhan smartphone semakin meroket menggusur feature phone.

Dengan potensi yang terus tumbuh, tak heran jika setiap tahunnya selalu ada pemain baru yang mencoba peruntungan. Tahun ini misalnya, terdapat dua brand China, Honor dan Gionee.

Kehadiran Honor dan Gionee, sejatinya mempertegas kedigdayaan brand-brand China di Indonesia. Berkat agresfitas sejumlah pemain utama, seperti Oppo, Xiaomi dan Vivo, IDC mencatat, pangsa pasar vendor asal China terus melonjak siginifikan.

Pada 2015 angkanya baru sebesar 12 persen, namun meningkat menjadi 23 persen pada 2016. Kemudian melonjak 31 persen di kuartal pertama 2017.

Di sisi lain, penguasaan market share brand lokal terus menunjukkan penurunan. IDC melaporkan bahwa ponsel merk dalam negeri hanya menguasai 17 persen pada kuartal pertama 2017. Padahal di kuartal yang sama 2016 sebesar 20 persen. Bahkan pada 2015 masih mencapai 34 persen.

Bagaimana dengan penguasaan pasar di tahun ini? Menurut IDC, lima vendor smartphone teratas pada kuartal kedua 2018 adalah Samsung (27%), Xiaomi (25%), Oppo (18%), Vivo (9%), dan Advan (6%).

Dari peta tersebut, terlihat jelas bahwa dominasi vendor-vendor ponsel China di Indonesia semakin sulit dibendung. Tercatat, jika digabungkan market share Xiaomi, Oppo dan Vivo sudah mencapai 52 persen. Angka tersebut belum termasuk pemain-pemain lapis kedua dan ketiga, seperti Huawei, Honor, Gionee, Lava, Hisense, Haier, Lenovo, Meizu, Nubia, dan OnePlus.

Network

Bisnis penyedia jasa jaringan (network service provider) memang identik dengan operator. Namun dibalik gemerlap bisnis operator itu ada begitu banyak pemasok didalamnya. Salah satunya adalah vendor penyedia jaringan (network provider).

Terdapat empat pemain di bisnis ini, yakni Ericsson, Nokia, Huawei dan ZTE. Nah, belakangan dibanding lainnya, kiprah vendor asal China, Huawei terlihat sangat menonjol.

Dari bisik-bisik dengan sejumlah nara sumber, Huawei kini setidaknya telah menguasai 40%-50% pangsa pasar bisnis jaringan. Artinya, hanya dalam tempo satu dekade, Huawei telah mengubah posisi, dari challenger menjadi market leader.

Pencapaian ini terbilang luar biasa, mengingat sejak lama, vendor jaringan asal Eropa, seperti Ericsson, Nokia, Alcatel Lucent, Siemens (almarhum) telah menguasai pasar bisnis jaringan di Tanah Air.

Seperti kita ketahui, kedigdayaan vendor-vendor Eropa dimulai sejak teknologi selular berbasis analog, yakni NMT (Nordic Mobile Telephone) masuk ke Indonesia pada 1984. Di susul AMPS (Advance Mobile Phone System).

Keduanya merupakan teknologi generasi pertama. Kemudian berlanjut dengan masuknya teknologi selular generasi kedua, yaitu CDMA dan GSM pada 1995.

Di dua era itu, vendor asal China bisa disebut sebagai anak bawang. Namun, berkembangnya teknologi 3G membuka kesempatan bagi Huawei untuk bersaing dengan raksasa-raksasa itu.

Harus diakui, krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998, menjadi pintu masuk bagi vendor China. Strategi harga yang lebih murah, bahkan kemudian mampu mendepak vendor Eropa dari posisi puncak.

Sukses menjadi pemasok teknologi 3G pada 2006, menjadi momentum pertumbuhan Huawei di Indonesia. Kini selain Huawei, vendor China lainnya, ZTE juga terus mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia. Dan Era 4G yang baru kita mulai pada 2015, telah memperkuat eksistensi Huawei dan ZTE.

Khusus untuk ZTE, meski masih memiliki pangsa pasar yang relatif kecil, vendor yang berbasis di Shenzen itu, digadang-gadang dapat menjadi pemain kunci berkat pengembangan teknologi 5G yang massif dilakukan oleh vendor tersebut.

Application

Revolusi digital telah menumbuhkan sebuah gaya hidup baru yang semakin berkembang di tengah masyarakat, yakni gaya hidup berbasis aplikasi. Tanpa disadari, semua aspek kehidupan akan banyak disokong dan dimudahkan oleh berbagai macam aplikasi yang ditawarkan oleh ponsel pintar.

Mulai dari memesan mobil atau motor, membeli barang di toko e-comemrce, membayar tol, berlangganan game favorit, berburu diskon dari toko ritel terkemuka, hingga meminjam uang dari pengembang aplikasi Fintech (financial technology), semua cukup dilakukan lewat smartphone.

Aktifitas mobile inilah yang pada akhirnya mengubah wajah indutri selular di Indonesia. Para pelaku industri berlomba menghadirkan layanan mobile terbaiknya untuk para pelanggan.

Seperti halnya di bisnis device dan network provider, perusahaan-perusahaan asal China terlihat sangat agresif dalam menggarap pasar aplikasi di Indonesia. Siapa tak kenal dengan TikTok. Aplikasi video musik dan media sosial yang sempat membuat heboh itu terbukti diminati masyarakat, terutama kalangan milenial.

Di bisnis rintisan (start up), investor China rela menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk bisa merajai pasar Tanah Air. Alhasil, dari empat unicorn (perusahaan dengan valuasi nilai lebih dari US$ 1 miliar) di Indonesia, dua diantaranya diketahui telah dimiliki perusahaan-perusahaan China. Keduanya adalah GoJek dan Tokopedia.

Tiga perusahaan raksasa China, yakni Tencent, JD.com dan Meituan Dianping juga telah menjadi induk semang Go-Jek. Tencent misalnya rela menggelontorkan dana sebesar USD1,2 miliar untuk memodali bisnis GoJek yang masih terbilang bakar uang.

Menurut Reuters, meski JD.com dan Meituan Dianping tak pernah mempublikasikan dana investasi yang dikucurkan, namun saat ini aliansi tiga investor China itu memiliki lebih dari 80% bagian saham Go-Jek.

Seperti halnya GoJek, Tokopedia masuk ke jajaran unicorn setelah memperoleh dana segar hingga USD 1,1 miliar dolar AS dari Alibaba pada 2017. Kita ketahui Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma adalah raksasa e-commerce asal China.

Diluar e-commerce, sosial media, hiburan dan search engine, China juga mengincar industri fintech (financial technology) yang tengah berkembang pesat. Salah satu bidang yang menarik minat para pemain adalah peer to peer lending (P2P).

Saat ini perusahaan fintech yang terdaftar resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru 63 entitas. Namun dalam penyelidikan terbaru, OJK mencatat ada sebanyak 227 perusahaan P2P yang tidak berizin alias ilegal. Sebagian besar fintech ilegal tersebut merupakan perusahaan asing asal China.

[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *